CEMARAN MIKROBA PADA PRODUK PERTANIAN DAN PETERNAKAN | ViaViva-ku
Home » » CEMARAN MIKROBA PADA PRODUK PERTANIAN DAN PETERNAKAN

CEMARAN MIKROBA PADA PRODUK PERTANIAN DAN PETERNAKAN

Written By Unknown on Tuesday, April 10, 2012 | 2:46:00 AM


paper
CEMARAN MIKROBA PADA PRODUK PERTANIAN DAN PETERNAKAN
 disusun oleh:
1.      Muhazaroh
2.      Tiyaningsih
3.      Khoirozad AlQudsi
4.      Arif Rahmat Hakim 
5.   Imam Sofyan



Abstrak
Indonesia merupakan negara pertanian. Banyak olahan dari produk pertanian yang dihasilkan, baik itu produk ternak, unggas, telur, daging maupun susu. Syarat produk pertanian yang berkualitas adalah bebas dari mikroba patogen, karena mikroba patogen jelas sangat merugikan, terutama bagi kesehatan manusia sebagai konsumen utamanya. Kasus- kasus penyakit yang disebabkan mengkonsumsi makanan yang tercemar mikroba patogen banyak terjadi di Indonesia, terutama akhir- akhir ini. Seperti kasus salmonelosis atau makanan yang sudah kadaluwarsa. Kasus  penyakit yang disebabkan oleh mikroba patogen secara tidak langsung memberikan gambaran tentang bagaimana kondisi keamanan pangan di Indonesia, apalagi mikroba patogen dapat ditemukan dimana saja, di tanah, udara, air dan bahan pangan sekalipun. Pangan membawa berbagai jenis mikroba. Pertumbuhan mikroba terjadi dalam waktu yang singkat dan pada kondisi yang sesuai. Oleh sebab itu, dalam proses produksi harus diterapkan system keamanan pangan mulai dari tahap budi daya sampai olahan tersebut siap santap. Penerapan sistem keamanan pangan ini tentunya memerlukan dukungan dari berbagai pihak, baik produsen, konsumen maupun pemerintah. Pencegahan juga diperlukan guna meminimalkan dampak dari penyakit yang disebabkan oleh cemaran mikroba patogen.


BAB I
PENDAHULUAN
Kebutuhan yang paling dasar dan utama bagi manusia adalan pangan. Ketersediaan pangan yang cukup saat ini terus diupayakan oleh pemerintah. Pangan  yang cukup, aman, bergizi, sehat dan halal untuk dikonsumsi merupakan progam dari pemerintah untuk masyarakat dengan harapan masyarakat mendapatkan pangan   yang berkualitas. Sumber pangan, baik pangan segar maupun olahan dari produk pertanian keamanannya harus terjamin supaya masyarakat sebagai konsumen utamanya dapat terhindar dari bahaya  mengkonsumsi pangan yang  tidak aman dan salah satu syarat produk pangan yang berkualitas adalah terbebas dari cemaran mikroba patogen. Dengan menghasilkan produk pangan yang berkualitas, nama baik Indonesia di mata Internasional akan meningkat.
Perkembangan industri pangan  di Indonesia yang berkembang pesat, baik itu industry kecil, menengah maupun besar berdampak positif terhadap sektor pertanian. Seiring perkembangan tersebut, tuntutan konsumen akan pangan yang sehat, aman, halal dan bermutu juga meningkat. Bahkan di negara- negara maju telah menuntut  adanya jaminan mutu sejak awal proses sampai produk tersebutdi tangan konsumen.
Tulisan ini menyajikan ulasan tentang cemaran mikroba pada produk pertanian dan peternakan sebagai bahan pangan yang diharapkan nantinya dapat memberikan pemahaman dan kesadaran akan pentingnya menghasilkan produk pangan yang bermutu, aman, bergizi dan halal guna menerapkan pangamanan pada setiap mata rantai produksi pangan.




BAB II
PEMBAHASAN
Mikoba tentunya mengadakan interaksi dengan sesamanya, dengan fungi, ganggang, tumbuhan, dan hewan bahkan manusia dalam kehidupannya.Reaksi antara mikroba atau lawannya akan menghasilkan keadaan berikut, yaitu : tidak ada efek, efek menguntungkan atau efek yang justru menimbulkan kerugian. Dari ketiga macam keadaan tersebut dapat tercipta bermacam- macam hubungan hidup. Kerugian ekologis disebabkan oleh golongan parasit. Organisme ini tidak hanya dapat hidup dari benda mati atau sisa buangan bahan organik, tetapi juga memasuki dan merusak zat- zat yang terdapat dalam sel atau jaringan hidup lain, dengan demikian dapat mengakibatkan gangguan keseimbangan fisik atau kimia dari organism yang diracuni atau yang didiaminya. Apabila organisme yang menjadi korban ini multiseluler, maka yang terkena adalah jaringannya. Inilah yang dinamakan penyakit dan sering mengakibatkan gangguan pada organism yang diserang bahkan sampai dapat menyebabkan kematian. Mikroba yang seperti ini disebut mikroba patogen dan bersifat parasit.
Cemaran mikroba patogen yang bersifat parasit ini dapat terjadi tidak hanya pada produk peternakan saja, melainkan juga dapat terjadi pada produk pertanian sebagai bahan pangan yang utama. Berikut adalah produk pertanian dan peternakan yang dapat tercemari oleh mikroba patogen yang bersifat parasit dan tentunuy sangat merugikan bagi manusia sebagai konsumen utamanya :
1.      Cemaran Mikroba pada Produk Peternakan
a.      Unggas dan Produk Olahannya
Syarat kualitas produk unggas adalah bebas dari mikroba patogen seperti  Salmonella sp., Staphylococcus aureus, Escherichia coli dan Campylobacter sp. Banyak kasus penyakit yang disebabkan  oleh cemaran mikroba patogen  pada daging unggasmaupun produk olahannya. Sebagai contoh yang sering terjadi di Eropa dan Amerika Serikat adalah kasus penyakit yang disebabkan oleh Salmonella enteritidis yang penularannya melalui daging ayam, telur dan produk olahannya (Baumler, 2000). Daging unggas cocok untuk perkembangan mikroba karena unggas dalam kehidupannya selalu bersentuhan dengan lingkungan yang kotor. Karkas ayam mentah selau dikaitkan  dengan cemaran Salmonella dan Campylobacter yang dapat menginfeksi manusia (Raharjo, 1999). Di Indonesia, ketidakamanan daging unggas dan olahannya berdasarkan hasil penelitian disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain tingkat pengetahuan peternak, kebersihan kandang, serta sanitasi air dan pakan.
Campylobacter jejuni merupakan salah satu bakteri patogen yang mencemari ayam maupun karkasnya. Cemaran bakteri ini mengakibatkan penyakit yang dikenal dengan nama campylobacteriosis pada manusia. Penyakit tersebut ditandai dengan diare yang hebat disertai demam, kurang nafsu makan dan leukositosis.
Produk olahan unggas seperti sate ayam, ayam panggang maupun ayam opor yang diproduksi oleh industri jasa boga juga berisiko tercemar mikroba. Pengolahan  sate ayam yang memerlukan waktu penyiapan yang panjang menyebabkan produk ini rentan terhadap cemaran mikroba. Karkas ayam mentah yang digunakan sebagai bahan baku sate ayam pada suatu industry jasa boga telah tercemar S. aureus. Hal ini perlu mendapat perhatian karena S. aureus mampu memproduksi enterotoksin yang tahan terhadap panas. Oleh karena itu, dalam pengolahan sate ayam ada beberapa tahap yang perlu diperhatikan sebagai titik kendali kritis, yaitu tahap penyiapan ( pemotongan dan penusukan), pembekuan, pemanggangan serta pengangkutan dan penyajian ( Harmayani, 1996). Staphylococcus adalah bakteri gram positif, berbentuk kokus, non motil, dan mampu memfermentasi manitol, menghasilkan koagulase, dan mampu menghasilkan enteroksin dan Heat-Stable Endonuklease. Enterotoksin adalah zat toksik yang menghasilkan bakteri lain, dikenal ada 5 macam enteroksin yaitu A, B, C, Ddan E (Cox & Bailey, 1987). Tidak semua Strain S. aureus menghasilkan enterotoksin namun semua strain berpotensi menyebabkan keracunan. Kejadian keracunan makanan oleh Staphylococcus pada umumnya berasal dari makanan yang disiapkan secara konvesional (hand made). Bahan makanan sumber pencemaran Staphylococcus yang menimbulkan wabah gastroenteritis adalah daging babi, produk roti, daging sapi, kalkun, ayam dan telur. Bailey et.al. (1987) mengatakan bahwa pencemaran pada daging ayam dapat terjadi pada berbagai tahap pemrosesan. Sebelum ayam disembelih, maka mikroba (Staphylococcus ) terdapat pada permukaan kaki, bulum dan kulit yang merupakan bagian tubuh yang kontak dengan tanah, debu, dan feses. Namun demikian Smiber et.al. (1958 ) yang disitasi Bailey et. al. (1987) menyatakan bakteri tersebut dapat juga ditemukan pada berbagai lokasi di saluran pernafasan ayam hidup. Pencemaran Staphylococcus dapat terjadi pada tahap pengolahan/pemasakan. Pencemaran pada tahap ini dapat terjadi pada saat pemotongan, deboning, penggilingan, atau penangan lain oleh peralatan maupun operator yang menjadi sumber pencemar (Bailey et. al. 1987). Albrecht & Summer (1995) menyatakan jumlah minimal enterotoksin yang dapat menimbulkan sakit pada manusia adalah 20 ng dan toksin ini menyebabkan peradangan pada permukaan usus sehingga memunculkan gejala-gejala klinis. Gejala klinis yang muncul adalah mual, mual, muntah, kejang/kram perut, dan diare, disamping itu dapat pula disertai sakit kepala, kejang otot, tekanan darah meningkat (Steluhak, 1998). Jay (1996) menambahkan, korban berkeringat penurunan suhu tubuh yang dapat berlangsung 24-48 jam, namun sangat jarang atau bahakan tidak pernah diikuti kematian.
Bakteri patogen lain yang sering mencemari daging ayam dan produk olahannya adalah Salmonella.  Keswandani (1996)menyatakan, karkas ayamyang digunakan dalam industri jasa boga di Daerah Istimewa Yogyakarta sudah tercemar bakteri Salmonella sp., padahal seharusnya negatif dari Salmonella sp. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas karkas ayam yang digunakan oleh industry jasa boga tersebut tergolong buruk. Namun demikian, proses pemasakan atau pemanasan dapat menurunkan cemaran mikroba dan negative terhadap Salmonella sp.
b.       Telur dan Produk Olahannya
            Telur merupakan salah satu produk unggas yang selalu dihubungkan dengan cemaran Salmonella. Salmonelosis adalah penyakit yang disebabkan bakteri Salmonella sp. Penyakit ini dapat menyerang unggas, hewan mammalia, dan manusia sehingga memiliki arti penting bagi manusia karena penyakit ini dapat terjadi akibat mengonsumsi makanan/air yang tercemar Salmonella sp. (Doyle dan Cliver, 1990). Cemaran Salmonella pada telur dapat berasal dari kotoran ayam dalam kloaka atau dalam kandang. Kloaka merupakan ruangan yang dibentuk oleh tiga sistema yaitu sistema pencernaan, perkencingan, dan reproduksi (Sisson, 1953). Salmonella sp. dikenal merupakan bakteri usus, sehingga apabila terjadi pengeluaran bakteri (shedding) dari ayam yang menderita  salmoleosis maka kloaka akan terlewati tinja akibatnya bakteri dapat ditemukan di daerah tersebut. Telur ayam yang dihasilkan sistema reproduksi juga akan melewati kloaka saat dikeluarkan dari tubuh. Sehingga sangat besar kemungkinan telur akan tercemar Salmonella sp. di kloaka. Cangkang telur secara alami merupakan pencegah yang baik terhadap cemaran mikroba. Cemaran bakteri dapat terjadi pada kondisi suhu dan kelembaban yang tinggi. Cemaran bakteri dapat terjadi pada kondisi suhu dan kelembaban yang tinggi. Cemaran pada telur bebek lebih banyak dibandingkan pada telur ayam.
            Pengambilan telur merupakan bagian tata cara beternak. Frekuensi pengambilan telur ternyata juga berpengaruh secara bermakna dengan angka cemaran Salmonella sp. pada telur. Pengambilan sekali atau dua kali sehari cenderung menurunkan angka cemaran namun apabila pengambilan telur dilakukan 3 kali sehari justru akan meningkatkan angka cemaran. Frekuensi gangguan yang ditimbulkan dengan pengambilan ini dapat berakibat ayam mendapatkan cekaman. Efek cekaman akan dapat meningkatkan shedding S. enteritidis melalui tinja baik pada ayam yang pernah divaksinasi Salmonella sp. maupun yang tidak. (Nakamura et al. 1994).
            Lebih dari 44% wabah salmonellosis yang terjadi di dunia melibatkan konsumsi telur, produk asal telur yang terkontaminasi akibat kontaminasi pada saat telur diinkubasi selama pengeraman dan cara memasak telur yang kurang sempurna seperti dimasak setengah matang atau dikonsumsi masih mentah. Telur yang telah dibekukan atau dikeringkan, telur-telur utuh yang tidak disimpan dalam refrigerator baik selama di retailer, di rumah-rumah atau pada usaha katering juga dapat mengkontaminasi makanan. (Barrow, 1993; Cdc, 2001; Lillehoj, 2000; Supardi dan Sukamto, 1999; WHO, 2002). Apabila penanganan telur tidak dilakukan dengan baik, maka kemungkinan Salmonella dapat mencemari telur. Untuk dapat mengurangi cemaran mikroba, pencucian dan pengemasan telur dapat dilakukan sebelum dipasarkan.

c.       Cemaran Mikroba pada Susu dan Produk Olahannya
            Susu merupakan salah satu bahan pangan yang kaya akan gizi. Kandungan protein, glukosa, lipida, garam mineral dan vitamin pH sekitar 6,80 menyebabkan mikroorganisme mudah tumbuh dalam susu.  Untuk dapat dikonsumsi, susu harus memenuhi persyaratan keamanan pangan. Susu merupakan media yang sangat baik bagi pertumbuhan bakteri dan dapat menjadi sarana bagi penyebaran bakteri yang membahayakan kesehatan manusia. Karena itu, susu akan mudah tercemar mikroorganisme bila penanganannya tidak memperhatikan aspek kebersihan (Balia et al. 2008). Proses pencemaran mikroba pada susu dimulai ketika susu diperah karena adanya bakteri yang tumbuh di sekitar ambing, sehingga saat pemerahan bakteri tersebut terbawa dengan susu. Menurut Rombaut (2005), pencemaran pada susu terjadi sejak proses pemerahan, dari berbagai sumber seperti kulit sapi, ambing, air, tanah, debu, manusia, peralatan, dan udara.
            Bakteri pencemar dalam susu dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu bakteri patogen dan bakteri pembusuk seperti Micrococus sp., Pseudomonas sp., dan Bacillus sp. akan menguraikan protein menjadi asam amino dan merombak lemak dengan enzim lipase sehingga susu menjadi asam dan berlendir, sedangkan bakteri patogen yang umumnya mencemari susu adalah E. coli. Kedua golongan bakteri tersebut dapat menyebabkan penyakit yang ditimbulkan oleh susu (milkborne disease), seperti tuberkulosis, bruselosis, dan demam tipoid. Mikroorganisme lain yang terdapat di dalam susu yang dapat menyebabkan penyakit adalah Salmonella, Shigella, Bacillus cereus, dan S. aureus (Buckle et al. 1987). Mikroorganisme tersebut dapat masuk ke dalam susu melalui udara, debu, alat pemerah, dan manusia. Pengolahan susu melalui sterilisasi atau pasteurisasi dapat menekan jumlah mikroba yang terdapat dalam susu segar.
                Pada manusia E. coli dapat menyebabkan diare bila dikonsumsi. E. coli yang menyebabkan diare dikelompokan menjadi empat, yaitu enterotoksigenik E. coli (ETEC), enteroinvasif E. coli (EIEC), enteropatogenik E. coli (EPEC) dan enterohemoragik E. coli (EHEC) (Nataro dan Kaper 1998).
Salmonella sp. merupakan bakteri berbahaya yang dapat mencemari susu selain bakteri E. coli. Bakteri tersebut dikeluarkan dari saluran pencernaan hewan atau manusia bersama dengan feses. Oleh karena itu, produk yang berasal dari peternakan rentan terkontaminasi Salmonella sp. Strain Salmonella enteridis sering mengontaminasi susu, disamping Salmonella typhimurium. Patogenesis Salmonella sp. saat ini belum diketahui pasti, namun dalam menimbulkan infeksi bersifat invasive dengan cara menembus sel- sel epitel usus dan merangsang terbentuknya sel- sel radang. Salmonella sp. Juga berpotensi menghasilkan toksin yang bersifat tidak tahan panas
Pada kasus keracunan setelah minum susu, S. aureus sering dilaporkan sebagai penyebabnya. S. aureus menghasilkan toksin yang bersifat tahan panas. S. aureus menghasilkan enterotoksin yang menyebabkan mual, muntah dan diare, yang sering disebut intoksikasi yang terjadi karena mengonsumsi makanan atau minuman yang mengandung toksin. Selain Salmonella sp. dan E coli., beberapa bakteri patogen yang dapat mencemari susu atara lain ada Brucella sp., Bacillus cereus, Listeria monocytogenes dan Campylobacter sp.
.2. Cemaran Mikroba pada Produk Pertanian
  1. Pada jagung dan kacang-kacangan
Mikroba khususnya kapang (jamur/cendawan) dapat tumbuh dengan baik pada produk tanaman pangan misalnya pada serealia dan kacang-kacangan. Kondisi daerah tropika yang lembap dapat memacu tumbuh dan berkembangnya berbagai hama dan penyakit, termasuk Aspergillus flavus dan A. parasiticus., kapang penghasil mikotoksin yang dikenal dengan alfatoksin. Aflatoksin merupakan molekul kecil yang tidak suka terhadap air, tahan terhadap perlakuan fisik, kimia maupun biologis dan tahan terhadap suhu tinggi (Rahayu 2006).
            Terdapat beberapa jenis aflatoksin utama, yaitu aflatoksin B1, B2, G1, dan G2. Keempat jenis aflatoksin tersebut biasanya ditemukan bersama dalam berbagai proporsi pada berbagai jenis pangan dan pakan hewan. Aflatoksin B1 biasanya paling mendominasi dan bersifat paling toksik. Aflatoksin B1 dan B2 dihasilkan oleh Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus. Sedangkan aflatoksin G1 dan aflatoksin G2 hanya dihasilkan oleh Aspergillus parasiticus. Jika aflatoksin B1 dan G1 masuk ke dalam tubuh hewan ternak melalui pakannya, maka senyawa tersebut akan dikonversi di dalam tubuh hewan tersebut menjadi aflatoksin M1 dan M2, yang dapat diekskresikan dalam susu dan urin.
            Cemaran A. flavus pada saat budi daya dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain suhu tanah, lengas tanah, kandungan unsur hara dalam tanah (Zn dan Ca), serta hama dan penyakit (Rahmianna 2006). A. flavus akan lebih kompetitif jika lengas tanah rendah, kelembapan udara tinggi (90−98%), dan suhu tanah 17−42°C. Bila A.flavus telah memproduksi aflatoksin, maka biji akan terasa pahit bila dimakan. Kandungan aflatoksin yang tinggi dikenal dari warna biji yang makin cokelat dan rasa yang makin pahit pula. Fase pengisisan biji merupakan fase pertumbuhan yang sangat sensitive terhadap cekaman suhu dan kekeringan. Suhu tanah optimum untuk perkembangan A. flavus berkisar 25, 70°-31, 30° C. Pada suhu 25, 70° C, biji kacang tanah utuh dan sehat akan terbebas dari infeksi A. flavus dan kontaminasi alfatoksin. Kontaminasi alfatoksin mulai terjadi pada suhu 26, 30° C, dan kandungan aflatoksin terus meningkat sejalan dengan peningkatan suhu hingga mencapai 31, 20° C. Bila suhu tanah melebihi 31, 20° C maka kontaminasi aflatoksin tidak terjadi (Cole et al. 1989; Hill et al. 1985 dalam Ginting dan Beti 1996). Di Indonesia, kacang tanah biasanya ditanam pada lahan kering pada musim kemarau sehingga akan mengalami cekaman kekeringan sekaligus suhu. Oleh karena itu, peluang untuk terinfeksi A. flavus dan terkontaminasi aflatoksin cukup besar.

            Sumber pangan yang dapat terkontaminasi alfatoksin misalnya jenis serealia (jagung, sorgum, beras, gandum), rempah-rempah (lada, jahe, kunyit), kacang-kacangan (almond, kacang tanah), susu (jika ternak mengkonsumsi pakan yang terkontaminasi aflatoksin), termasuk produk pangan yang terbuat dari bahan-bahan tersebut, seperti roti dan selai kacang. Namun, komoditi yang mempunyai tingkat risiko tertinggi terkontaminasi aflatoksin adalah jagung, kacang tanah, dan biji kapas (cotton seed).

Aflatoksin seringkali ditemukan pada tanaman sebelum dipanen. Setelah pemanenan, kontaminasi dapat terjadi jika hasil panen terlambat dikeringkan dan disimpan dalam kondisi lembab. Serangga dan tikus juga dapat memfasilitasi masuknya kapang pada komoditi yang disimpan. Efek alfatoksin sendiri terhadap kesehatan cukup diwaspadai. Khususnya alfatoksin yang mendapat perhatian lebih besar daripada mikotoksin lain karena mamiliki potensi efek karsinogenik terhadap tikus uji serta efek toksisitas akut terhadap manusia.
3.      Penyakit Akibat Cemaran Mikroba Patogen Pada Pangan
Berbagai macam penyakit yang dialami oleh manusia sebagian besar disebabkan oleh makanan yang tercemar bakteri patogen, seperti typus, disentri, botulisme, dan hepatitis A (Winarno, 1997). Penyakit yang lain disebabkan oleh bakteri dan sering kali menimbulkan masalahserta memiliki dampak yang cukup berbahaya terhadap kesehatan manusia misalnya antraks, salmonellosis, brucellosis, tuberculosis, klostridiosis, dan kolibasilosis. (Supar, 2005)
            Foodborne disease merupakan penyakit yang diakibatkan karena mengkonsumsi makanan yang tercemar mikroba pathogen. Mikroba yang menimbulkan penyakit dapat berasal dari makanan produk ternak yang terinfeksi atau tanaman yang terkontaminasi (Bahri 2001). Makanan yang terkontaminasi selama pengolahan dapat menjadi media penularan penyakit. Penularan penyakit ini bersifat infeksi, yaitu suatu penyakit yang disebabkan oleh mikroba yang hidup dan berkembang biak pada tempat terjadinya peradangan. Mikroba masuk ke dalam saluran pencernaan manusia melalui makanan, yang kemudian dicerna dan diserap oleh tubuh. Dalam kondisi yang sesuai, mikroba patogen akan berkembang biak di dalam saluran pencernaan sehingga menyebabkan gejala penyakit. Foodborne disease yang disebabkan oleh salmonella dapat menyebabkan kematian pada manusia, media pencemarannya dapat berasal dari air pencuci yang telah terkontaminasi. Mikroorganisme lainnya yang dapat menyebabkan foodborne disease antara lain Compylobacter, E. coli, dan Listeria. Gejala umum foodborne disease adalah perut mual diikuti muntah-muntah, diare, demam, kejang-kejang, dan gejala lainnya.
Pertumbuhan mikroba terjadi dalam waktu singkat dan pada kondisi yang sesuai, antara lain tersedianya nutrisi, pH, suhu, dan kadar air bahan pangan. Kelompok mikroba pembusuk akan mengubah makanan segar menjadi busuk bahkan dapat menghasilkan toksin (racun), yang kadang-kadang tidak menunjukkan tanda-tanda perubahan atau kerusakan fisik sehingga bahan pangan tetap dikonsumsi.
Saluran pencernaan manusia merupakan sistem yang terbuka. Apabila mikroba pathogen yang terdapat pada makanan ikut termakan maka pada kondisi yang sesuai mikroba pathogen akan berkembang biak di dalam saluran pencernaan sehingga menyebabkan gejala penyakit atau infeksi. Toksin yang dihasilkan oleh mikroba pathogen yang ikut termakan menyebabkan gejala penyakit yang disebut intoksikasi. Gejala akut yang disebabkan oleh mikroba pathogen adalah diare, muntah, pusing, bahkan pada kondisi yang parah dapat menyebabkan kematian.
Aflatoksin merupakan mikotoksin yang dihasilkan oleh A.flavus atau A.parasiticus dan bersifat hepatokarsinogen. Apabila termakan dan terakumulasi dalam jumlah yang berlebihan, aflatoksin dapat menyebabkan kerusakan hati pada manusia. Sama halnya dengan aflatoksin, histamine yang merupakan racun dari produk perikanan akibat cemaran mikroba pathogen dapat menyebabkan keracunan. Gejala keracunan histamine dimulai beberapa menit sampai beberapa jam setelah makanan dikonsumsi,antara lain berupa sakit kepala, kejang-kejang, diare, muntah-muntah, kulit bergaris merah,pembengkakan pada bibir, dan kerongkongan terasa terbakar. Gejala ini umumnya berlangsung kurang dari 12 jam dan dapat diobati dengan terapi antihistamin.
Patogen bawaan makanan seperti Clostridium botulinum sangat berkaitan dengan penyakit ekstraintestinal akut,yang dapat menyebabkan sindrom neuroparalisis dan seringkali berakibat fatal. Penyakit ekstraintestinal juga dapat disebabkan oleh cemaran Listeria monocytogenesis yang menyebabkan penyakit ringan seperti flu hingga penyakit berat seperti meningitis dan meningoensefalitis. E.coli penghasil verotoksin umumnya mengakibatkan diare berdarah dan dapat menyebabkan uremia hipolitik, dan gagal ginjal akut terutama pada anak-anak. Salmonelosis merupakan penyakit yang diakibatkan oleh cemaran Salmonella sp. dan dapat menyebabkan rematik, meningitis, abses limpa, pancreatitis, septicemia, dan osteomielitis.
4.      Pencegahan Cemaran Mikroba Pada Produk Pertanian
Produksi dan pemasaran produk pertanian melibatkan berbagai pihak yang saling berinteraksi. Sumber bahan pangan adalah Produsen dan Pengolah. Pengolah mengubah bahan dasar menjadi produk akhir yang siap dikonsumsi atau mengawetkan produk agar masa simpannya lebih lama. Dalam menghasilkan bahan pangan, produsen dan pengolah diharapkan dapat menerapkan cara-cara berproduksi yang baik sehingga produk yang dihasilkan aman dan sehat dikonsumsi.
Distributor berfungsi memindahkan bahan pangan dari satu tempat ke tempat yang lain, dan kadang-kadang menyimpan bahan pangan untuk digunakan lebih lanjut. Dalam jaringan bahan pangan tersebut, setiap individu mempunyai peran yang penting dalam menjaga keamanan pangan. Keamanan bahan pangan harus diperhatikan mulai dari tahap budi daya hingga pangan tersebut siap dikonsumsi. Pada tahap budi daya perlu diterapkan Good Farming Practices (GFC), selanjutnya pada tahap pasca panen dilakukan Good Handling Practices (GHP), pada tahap pengolahan, Good Manufacture Practices (GMP), dan pada tahap distribusi diterapkan Good Distribution Practices (GDP) agar produk pertanian sampai ke konsumen dalam keadaan aman.
Pendekatan lainnya adalah dengan melakukan pengendalian dan pencegahan terhadap munculnya potensi bahaya, baik biologis, kimia maupun fisik selama proses produksi hingga penyiapan pangan. Secara sederhana dapat dikemukakan bahwa pencegahan terhadap munculnya risiko bahaya lebih baik daripada mengatasi bahaya yang telah muncul.
HACCP (Hazard Analysis and Critical Control Point) merupakan system evaluasi sistematis terhadap prisedur pengolahan atau penyiapan pangan untuk mengidentifikasi potensi bahaya yang berkaitan dengan bahan atau prosedur pengolahan bahan pangan. Penerapan HACCP juga bertujuan untuk mengetahuin cara mengendalikan risiko bahaya yang mungkin muncul. Melalui system tersebut, selanjutnya ditetapkan langkah-langkah pengolahan yang tepat untuk mencegah atau mengendalikan risiko bahaya.
Pada prinsipnya, HACCP merupakan system manajemen untuk menghindarkan atau mencegah makana dari bahaya biologis (mikrobiologis), kimia, dan fisik. Secara sederhana, system ini dapat diterapkan dengan langkah awal mengidentifikasi potensi bahaya dan dilanjutkan dengan tahapan pengendalian agar risiko yang muncul dari bahaya tersebut dapat dihilangkan atau ditekan. Pendekatan HACCP terdiri atas tujuh prinsip, yaitu Analisis potensi bahaya, Penentuan titik kendali kritis, Penetapan batas kritis, Penetapan system pemantauan, Penetapan tindakan korektif, Penetapan prosedur verifikasi, dan Penetapan dokumentasi dan penyimpanan dokumen.
            Penyebab sumber pangan menjadi tercemar juga dapat berasal dari air pencuci yang telah terkontaminasi, maka perlu diperhatikan dalam hal sanitasi. Memperbaiki sanitasi terutama lingkungan, merupakan salah satu solusi terbaik dalam mengantisipasi cemaran mikroba. Sanitasi yang buruk yang menyebabkan air tercemar tinja yang mengandung kuman penyakit, menyebabkan terjadinya waterborne disease. Angka
kejadian waterborne disease dan food borne disease di Indonesia tergolong tinggi, yaitu sekitar 300−1.000 penduduk menderita diare dan dua pertiga penduduk terinfeksi cacingan (Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat 2008). Diare yang diakibatkan oleh adanya bibit penyakit dalam makanan merupakan penyebab utama malnutrisi. Setiap anak berusia 5 tahun ke bawah (balita) rata-rata menderita diare 2−3 kali per tahun, sedangkan 15 dari 1.000 anak-anak meningal karena diare. Di negara berkembang, 70% penyakit diare dewasa ini dianggap disebabkan oleh makanan yang mengandung penyakit (Winarno 2004) Untuk memperoleh jaminan keamanan pangan perlu diterapkan sistem keamanan pangan dalam setiap proses produksi. Tahap awal dimulai dari budi daya, yaitu perlu diterapkan praktek beternak yang baik (good farming practices, GFP), meliputi sanitasi kandang dan lingkungan sekitar kandang dan pemberian pakan ternak yang bebas jamur atau aflatoksin. Selanjutnya pada tahap pascapanen perlu dilakukan praktek penanganan pascapanen yang baik (good handling practices, GHP). Pada tahap ini perlu diperhatikan peralatan atau mesin yang digunakan untuk penanganan pascapanen. Pada saat pemotongan ternak, misalnya, pisau yang disediakan untuk memotong ternak minimal 2 buah dan digunakan secara bergantian untuk menghindari kontaminasi silang dari ternak yang dipotong. Selanjutnya, pada tahap pengolahan perlu diterapkan good manufacture practices (GMP), sehingga produk yang dihasilkan aman dan sehat dikonsumsi. Pada tahap ini perlu diperhatikan penggunaan zat-zat yang aman dan efektif untuk pengolah makanan. Sistem keamanan pangan yang sudah diakui dan diterapkan secara internasional adalah Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP). Sistem ini menekankan pada pengendalian berbagai faktor yang mempengaruhi bahan, produk, dan proses. Pendekatan HACCP meliputi tujuh prinsip yaitu:
1) Analisis potensi bahaya, bertujuan untuk mengidentifikasi dan mengevaluasi potensi bahaya yang diperkirakan dapat terjadi pada setiap langkah produksi makanan.
2) Penentuan titik kendali kritis, merupakan langkah tindak lanjut dari analisis potensi bahaya. Potensi bahaya yang
telah teridentifikasi harus diikuti dengan satu atau lebih critical control point (CCP).
3) Penetapan batas kritis. Batas kritis mencerminkan batasan yang digunakan untuk menjamin proses yang berlangsung dapat menghasilkan produk yang aman.

BAB III
PENUTUP

Sumber gizi bagi tubuh dapat berupa makanan dari produk pertanian maupun peternakan. Makanan yang sehat, bergizi dan aman sangatlah penting bagi tubuh. Kesalahan dalam memilih makanan justru dapatmenimbulkan kerugian bagi tubuh. Kasus penyakit yang diakibatkan  karena mengonsumsi produk pangan dapat dsebabkan oleh manusia oleh manusia karena kurangnya pengetahuan tentang penanganan maupun pengolahan yang baik serta sanitasi yang belum memadai. Sering kali cemaran juga berasal dari pengolahan makanan dalam mengolah makanan tersebut serta lingkungan sekitar tempat pengolahan. Cemaran dapat terjadi karena kontak langsung antara anggota tubuh orang yang sakit dengan makanan baik sengaja maupun tidak sengaja.
Cemaran mikroba pada produk pangan dan olahan memang tidak dapat kita hindari, karena mikroba sendiri berada dimana- mana, baik itu di udara, tanah maupun air. Namun cemaran mikroba tersebut dapat diminimalisir dengan cara pengolahan dan pengemasan produk olahan yang baik, didukung dengan danya pengetahuan tentang penanganan dan pengolahan yang baik, serta kondisi lingkungan yang baik. Cemaran mikroba patogen seperti S. aureus, E. coli dan Salmonella sp. yang berbahaya bagi kesehatan manusia dapat dikurangi mulai dari tahap budi daya, panen, pasca panen, pengolahan hingga distribusi. Oleh sebab itu sangat dianjurkan untuk menerapkan sistem Good Agriculture Practices, Good Farming Practices dan Critical Control Point sehingga dapat menghasilkan produk pangan yang berkualitas.

DAFTAR PUSTAKA
Baumler, A.J., B.M. Hargis, and R.M. Tsolis. 2000.Tracing origin of Salmonella outbreaks.

Harmayani, E., E. Santoso, T. Utami, dan S. Raharjo. 1996. Identifikasi bahaya kontaminasi
S. aureus dan titik kendali kritis pada pengolahan produk daging ayam dalam usaha jasa boga. Agrotech, Majalah Ilmu dan Teknologi Pertanian 16(3): 7-15.
Science 287(5450): 50−52.
Jurnal Litbang Pertanian, 26(2), 2007

Jurnal Litbang Pertanian, 29(3), 2010

Keswandani, R. 1996. Identifikasi titik pengendalian kritis pengolahan produk daging dan ikan dari industri jasa boga golongan A- 2 terhadap cemaran bakteri Salmonella sp. Skripsi Jurusan Pengolahan Hasil Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 96 hlm.



Share this article :

0 komentar hot :



 
Support : imam shopyan | viaviva-ku | i'am shofie
Copyright © 2013. ViaViva-ku - All Rights Reserved
Modified by viaviva-ku.Com
Proudly powered by Blogger