GORO-GORO:
Hilangnya kontrol
sosial masyarakat terhadap fenomena politik
“Goro-goro ing Negoro Ngamarto
ditinggal lungo Lurah Kyai Semar-ngilang tanpo ambu lan tinilas. Ksatrione dadi
linglung lan mbambung kabeh, Rakyate kocar-kacir koyo piyek kelangan babon, ……”
Dengan cucuran
keringat, bau amis darah dan disertai kerutan di dahi, Negara ini dibentuk dan
didirikan oleh rakyat. Momentum melawan penindasan kolonialisme penjajahan memang
telah mampu digapai sejak 67 tahun yang lalu, namun kemerdekaan yang telah
menjadi hantu dalam mimpi-mimpi founding
fathers ini masih terus melambung layaknya kapuk yang terus ditiup angin.
Kemerdekaan hanya menjadi sebuah ritual kenegaraan setiap 17 agustus –tanggal
kemerdekaan yang masih saru bagi rakyat –dan selama lebih setengah abad itu pula,
rakyat sebagai sang pendiri negara ini tak pernah mengicipi nikmatnya kue
kemenangan tersebut. Pesta demokrasi rakyat yang digembor-gemborkan sebagai
momentum balik-pun terasa sebagai sebuah pesta penghambaan bagi rakyat untuk
memilih rezim-rezim selanjutnya. Diperparah lagi sang rezim-pun ternyata adalah
budak setia dari sistem konspirasi global, terjerat dalam jaring sosok-sosok
tak bertubuh yaitu isme-isme tak bermoral seperti kapitalisme, liberalisme, modernisme,
proyekisme, kadalisme, hingga brothosauruisme. Tak pelik lagi, mimpi indah
itupun menjelma menjadi malaikat pencabut nyawa. Serakan gambaran kelam
tersebut-lah yang terus menghantui kita.
Merdeka yang diinginkan
rakyat tidaklah serumit apa yang ada dalam pemikiran para intelektual dunia,
yang dengan retorika cas cis cus-nya,
teori bla-bla-bla, epistimologi,
ontologi hingga untulegi, memaksakan
bahasa khayangan untuk dikonsumsi rakyat demi sekedar memaparkan apa itu
merdeka.
“Merdeka itu penjajah
hilang, hidup bebas…”
“Merdeka iku Mas, londo lungo, duwe negoro dewe, makmure dipek
dewe, rego sembako murah..”
“Merdeka itu bebas tapi
sopan, Mas.”
Menggunakan bahasa se-ilmiah
para intelektual atau-pun menggunakan bahasa rakyat, nilai essensi merdeka
tidak pernah lepas dari kebebasan berkehendak untuk menentukan nasip sejauh
tidak menggingkari nilai suci “fitrah” kelahiran, berdaulat dan mampu “berdikari”.
Kurang lebih gambaran merdeka seperti ini yang diharapkan oleh founding fathers kita?
Kedaulatan Negara berasal
dari kedaulatan rakyat. Rakyat memiliki peran penuh dalam hal menetukan kemana
nasib Negara ini. Rakyat dengan kedaulatan penuh-nya mengangkat perwakilannya
untuk menjalankan fungsi negara yaitu disebut sebagai “Pemerintah”. Analogi
sederhana akan hal ini adalah sebuah keluarga (Rakyat) membuat dan membangun
rumah (Negara) yang dilengkapi pula perabotan di dalamnya
(Aturan/Undang-undang). Perabotan-perabotan yang ada akan menambah nilai
estetika “rumah” tersebut dan menunjukkan etika bagi para penghuninya. Kemudian
diangkatlah abdi dhalem/pembantu
(Pemerintah) untuk merawat, menjalankan fungsi rumah itu sendiri dan memenuhi
kesejahteraan penghuninya. Jadi bukan lantas sebaliknya, rakyat yang harus
mengabdi pada pemerintah. Rakyat hanya mengabdi pada negara begitu juga
pemerintahnya.
Namun, dengan retorika
yang indah, para intelektual kita yang lebih cenderung “berbahasa asing” dengan
sengaja mempolitisir prinsip, filosofi dan kearifan budaya bernegara kita demi
keuntungan pribadi maupun keuntungan bos-bos (isme-isme;red) mereka, sehingga
nampak jelas tradisi kekuasaan para penguasa (pemerintah) kita tersebut sangat
mendistorsi nilai kedaulatan rakyat di negara ini. Rakyat dan generasinya-pun
dibuat terbiasa akan bias yang sebenarnya sangat jelas tersebut. Kita tidak
harus terpancing dengan isu-isu politik yang dilontarkan oleh para politisi.
Ungkapan pemerintah yang absurd dalam hal pelayanan terhadap rakyaat tersimpan
banyak udang dalam batu politiknya.
Pemerintah sekarang ini
tak ubahnya pagar makan tanaman. Budaya politik “sogok” yang gencar dipamerkan
kehadapan publik merupakan pagar yang paling aman untuk seolah menentramkan
rakyat. Dengan jargon andalan “Asal atasan (rakyat) senang”, rakyat seolah
dibelai dan akhirnya siap untuk ditusuk dari belakang. Mayoritas penduduk Indonesia
adalah rakyat di bawah garis kemiskinan. Belaian pemerintah dengan mengucurkan
dana bantuan sebagai sogokan seperti BLT, BLSM, subsidi ini itu seakan membius
rakyat untuk berteriak lebih keras. Di mana sejatinya bentuk-bentuk “sogokan”
itu adalah hak bagi tuan rumah
(rakyat) tanpa perlu diadakannya istilah “sogokan”. Rakyat yang mayoritas
miskin memang tidak membutuhkan dana yang terlalu besar, sehingga dapat menyisakan
tabungan yang tebal di saku-saku para birokrasi. Inilah keuntungan yang
diperoleh, “bos” senang, saku tebal dan rakyat terbuai oleh “sogokan” tersebut.
Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui.
Seolah-olah
mempermainkan hak rakyat, dengan berbagai kedok ini itu, sogokan yang notabene
adalah hak yang tak seberapa besar tadi, mereka (pemerintah) dengan perlahan
bermaksud menghapuskannya. Harga per KWH listrik yang kian melambung tinggi,
BBM di Negara sumber minyak ini yang terus merangkak naik (per 1 Mei 2013 harga
BBM akan naik menjadi Rp.6.500,-/l), Subsidi pupuk yang kian tipis hingga membengkaknya
biaya produksi. Sistem pendidikan bergaya kapitalisme. Memainkan berbagai peran
untuk mengimpor hasil bumi yang padahal bumi pertiwi ini terkenal dengan tanah
surganya. Skenario sempurna untuk mencekik rakyat.
Berbagai masalah di
atas, menunjukkan keseriusan pemerintah kita, bukan untuk menghamba pada tuan
rumah (rakyat) melainkan untuk menghamba pada jaringan global, dengan isme-isme
nya yang telah melahirkan bentuk neokolonialisme berupa IMF, World Bank, dll.
Hal ini diperparah lagi dengan ditunggainya kepentingan golongan (partai) dan
kepentingan pribadi. Kepentingan rakyat hanya tertera pada urutan kesekian
setelah kepentingan-kepentingan diatas.
Selain budaya politik
sogokan, jurus ampuh untuk membalut isi kepentingan mereka -selain kepentingan
rakyat tentunya- adalah politik pencitraan diri. Politik ini adalah gaya yang
lebih santun lagi untuk menusuk rakyat. Entah sebagai trend baru dikalangan
politisi atau hanya mengikut arus budaya pop kalangan selebriti, yang jelas
hasilnya sangat memuaskan untuk meraih simpati rakyat. Sebagai contoh adalah
fenomena Jokowi Efek. Jokowi dengan
santun dan ramah memenangkan pemilihan gubernur DKI Jakarta beberapa waktu lalu
dan dengan gaya berpolitiknya yang merakyat guna menyelesaikan beberapa
pekerjaannya sebagai gubernur. Apakah hal tersebut adalah sekedar politik
pencitraan atau memang sudah menjadi karakteristik gaya kepemimpinannya (tidak
ada kebenaran yang bisa disembunyikan, dan sebaliknya). Politik pencitraan
serupa dengan gaya Jokowi telah merambah ke berbagai politisi lainnya, sebut
saja Rieke, Dahlan Iskan, bahkan SBY.
Bahkan dalam kasus SBY,
budaya pop mengikuti trend selebriti-pun sah dilakukannya (Hingga sulit
membedakan berita selebriti atau berita politik). SBY dengan kapabilitasnya
sebagai orang nomer satu di Indonesia, dengan intensitas tertentu berkarya
sebagai pencipta lagu. SBY sebagai Presiden sekaligus pencipta lagu. Selain
pencipta lagu, SBY juga terjun menyapa rakyatnya melalui akun twitter
@SBYudhoyono per 13 april lalu.
Fenomena-fenomena para
pemimpin negeri ini yang cenderung mengikuti budaya pop sebagai strategi
politik menjadi sebuah paradoks tersendiri. Keadilan sosial yang semakin suram,
kebijakan ekonomi yang memeras rakyat, sistem pendidikan yang carut marut,
supremasi hukum yang kalut, wajah korupsi yang kian membalut dan seabrek
masalah lainnya tidak akan bisa diselesaikan dengan hanya bermanis-manis duduk
di depan PC atau gadget, dan say hello
lewat pencitraan diri. Hanya menambah daftar kerja yang membuang waktu.
Sementara kesan yang ditampilkan melalui budaya politik seperti ini justru
berdampak pada sinisme masyarakat. Masyarakat dengan kondisi yang terus ditekan
secara struktural seperti ini, semakin kehilangan pijakan. Terjajah secara
terstruktur rapi oleh para birokrasinya sendiri.
Lemahnya kontrol dari
masyarakatlah yang menyebabkan budaya politik para birokrasi seperti ini dengan
cepat menggurita. Sebagai pemegang kontrol terhadap kinerja pemerintah, rakyat
melalui intitusi yang dibentuknya harus secara sadar dan kritis memahami
fenomena sosial yang terjadi. Kesadaran untuk berfikir kritis ini harus
terbangun dan terintegrasi secara inklusif dalam seluruh lapisan masyarakat. Pendidikan
kritis yang terintegrasi menjadi hal yang wajib ditanamkan untuk menciptakan
kebijaksanaan rakyat. Melalui intitusi kontrol sosial seperti ICW, HRW, lembaga-lembaga
sosial masyarakat, gerakan-gerakan pemuda, dll, rakyat berpartisipasi aktif menjalankan
tugasnya dalam melakukan kontrol sosial untuk kemudian ditransformasikan dalam
kerangka kerja pemerintah yang membawa dan membela aspirasi rakyat. Peran pers
yang independen juga berpengaruh besar terhadap terwujudnya visi dan misi ini.
Tanpa adanya pers yang independen, rakyat akan buta fenomena yang terjadi dan
hanya akan mengkonsumsi berita-berita yang termanipulasi. Jika kontrol sosial
sudah terbangun, kedaulatan rakyat akan kembali terimplementasikan.
Kontrol
sosial?
Menurut Sarjoeno
Soekanto ( 1981 ), yang dimaksud kontrol sosial adalah suatu proses baik yang
direncanakan atau tidak direncanakan, yang bertujuan untuk mengajak, membimbing
atau bahkan memaksa warga masyarakat agar mematuhi nilai-nilai dan
kaidah-kaidah yang berlaku.
Menurut tipologinya kontrol sosial dapat
dikategorikan menjadi :
1.
Formal Sosial Control dan Informal Social Control
Pengendalian sosial secara formal
dilakukan oleh lembaga-lembaga resmi yang ditugasi oleh masyarakat untuk itu,
misalnya lembaga pemerintahan, lembaga ketertiban dan keamanan, semisal pemerintahan
desa, kepolisian, kejaksaan, pengadilan ( kehakiman ) dan para penegak hukum
yang lain.
Sedangkan secara informal pengawasan sosial
dilakukan oleh siapa saja dari anggota masyarakat demi tegaknya ketertiban dan
ketentraman serta kedamaian masyarakat
sesuai dengan norma yang berlaku atau yang diinginkan.
2.
Primary Group Control dan Secondary Group Control
Pengawasan social dari kelompok primer,
misalnya orang tua kepada anak-anak mereka, atau oleh seorang individu kepada
kelompok, semisal dosen kepada mahasiswanya disuatu perguruan tinggi.
Pengawasan sosial oleh kelompok
sekunder, dapat dilakukan misalnya kelompok tertentu mengawasi kelompok lain,
atau sebaliknya, juga pengawasan suatu kelompok kepada individu, dalm kehidupan
sehari-hari.
3. Regulative Social Control dan Suggestive
Social control
Pengendalian social
yang dilakukan oleh penguasa atau melalui kekuatan dan kekuasaan, dengan
menggunakan aturan, atau norma hukum (regulative) jika sosial kontrol yang lain
telah gagal melaksanakan fungsinya dalam mengarahkan tingkah laku anggota
masyarakat atau kelompok untuk menyesuaikan diri dengan nilai dan norma social
yang berlaku.
Bagaimana
membangun kontrol sosial bagi masyarakat?
A. Melalui pembangunan pendidikan
A. Melalui pembangunan pendidikan
Strategi dasar pembangunan pendidikan nasional indonesia akan menentukan
arah dan jiwa pembangunan yang dapat menghilangkan ketimpangan kehidupan bangsa
indonesia, baik kini atau masa depan antara lain:
1. Pembangunan
pendidikan nasional yang memerangi kondisi kemiskinan dan kebodohan untuk
mengurangi dan menghilangkan kerawanan potensial utama dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara (education for all)2. Pembangunan pendidikan nasional untuk pengembangan dan pembangunan masyarakat yang menumbuhkan jiwa dan karakter bangsa (nation and character building)
3. Pembangunan pendidikan nasional untuk pengembangan pendidikan yang elitis inklusif bertaraf internasional berbasis budaya indonesia yang utuh, bersifat unggulan, mempunyai daya saing yang kuat di antara bangsa-bangsa lain di dunia (program peningkatan kualitas pendidikan)
4. Pembangunan pendidikan yang mendukung pembangunan berkelanjutan (education for sustainable development-esd)
5. Pembangunan pendidikan yang berwatak multi-kulturalistis menuju satu kesatuan bangsa
B. Mewujudkan kebebasan pers
Menurut Undang-Undang
Pers Nomer 40 Tahun 1999. Dinyatakan bahwa pers merupakan lembaga sosial dan
wahana kominukasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik. Sebagai
pelaku media informasi, selain memiliki fungsi pendidikan dan fungsi hiburan,
pers juga memiliki fungsi kontrol sosial. Dalam perannya sebagai fungsi
pendidikan, pers memuat tulisan-tulisan yang mengandung pengetahuan dan
wawasannya.
Setidaknya ada empat
fungsi pers sebagai control sosial , yang terkandung makna demokratis,
didalamnya terdapat unsure-unsur sebagai berikut : 1) social participation (keikutsertaan
rakyat dalam pemerintahan), 2) social responsibility (pertanggungjawaban
pemerintah terhadap rakyat), 3) social
support (dukungan rakyat terhadap pemerintah), dan 4) social control (control
masyarakat terhadap tindakan-tindakan pemerintah. Fungsi pers ini dapat
terwujud apabila kebebasan pers terjamin.
Menilik kembali kisah goro-goro pada paragraf pertama, Semar
merupakan simbol dari sosok rakyat yang memiliki kebijaksanaan terhadap
kebijakan yang akan diambil oleh para ksatria atau pemerintah dalam menjalankan
roda pemerintahannya. Sebagai seorang penasehat dan pengemong yang bijaksana dan tetap kritis, Semar menjadi seorang
penuntun rakyat dan para ksatria. Hilangnya sosok Semar akan menimbulkan kekacauan.
Pemerintah yang hilang kontrol dan lupa akan rakyatnya, rakyatnya sendiri
kehilangan pijakan dalam bergerak. Inilah yang yang terjadi dalam kehidupan di
negeri kita sekarang. Kehilangan sosok Semar, kehilangan sosok rakyat yang
bijak, yang kritis, yang mampu melakukan kontrol sosial.
Semoga dapat menjadi
hikmah.
I’am Shofy
Yogyakarta,
21/04/’13
0 komentar hot :
Post a Comment