RELASI ANTARA BAHASA, KEKUASAAN DAN WACANA POLITIK | ViaViva-ku
Home » » RELASI ANTARA BAHASA, KEKUASAAN DAN WACANA POLITIK

RELASI ANTARA BAHASA, KEKUASAAN DAN WACANA POLITIK

Written By Unknown on Friday, March 16, 2012 | 5:54:00 AM

“Satu kata atau tidak sama (diam) sekali –pun merupakan “tindakan politik” bagi mereka yang mengenal “diri”nya......”

Sebuah keniscayaan bagi “elit bumi” ini bahwa dalam hitungan hari ke depan harus berhadapan serta terjun langsung dalam upaya saling olok maupun topang menopang diantara mereka pada sebuah moment awal yang krusial- bagi si “anak” ataupun moment kemenangan –titik nadir bagi si “ibu”. Serta tak kalah hebat lagi pada moment yang menentukan nasib ke“elit”an mereka di “jagad raya” dimana “bumi” mereka bernaung, yaitu moment “perang saudara”.(yang faham cengar-cengir, yang nggak faham ndomblong tok.......). Politik memang sebuah keharusan bagi kita semua untuk tetap melanggengkan hidup kita.

“Teks-teks” yang terkait dengan politik perlu ditafsiri secara dewasa. Tidak mudah memang mengurai manuver-manuver politik yang ada, baik dari pihak kawan dan atau sama dengan lawan. Namun meskipun demikian, para “pemain” sirkus politik ini dalam pembawaannya tidak akan terlepas dari bahasa (verbal maupun non verbal) sebagai sarana komunikasi politiknya, dimana bahasa tersebut yang akan merekam STRATAK mereka dalam usaha mengapresiasikan unek-unek (makna), melanggengkan kekuasaan, ataupun menggemborkan wacana politiknya.

Dalam dunia kepemimpinan, para sosok pemimpin legendaris di eropa maupun amerika meniscayakan adanya good excellent politic discourse selalu terkait ke dalamnya. Wacana politik dalam pidato-pidato kenegaraan, konferensi pers ataupun dalam kampanye sangat efisien untuk menjaga solidaritas kelompok, persuasif, produksi konsep baru sampai upaya melegitimasi kekuasaan. Tidak hanya sosok para pemimpin negara, para pengusaha kaya-penganut paham kapitalisme ini juga menerapkan wacana politik mereka melalui strategi bisnis dan media periklanan.

BAHASA DAN WACANA POLITIK

Bahasa didefinisikan sebagai simbol yang bermakna dan memiliki artikulasi (dikeluarkan oleh alat ucap) dipakai sebagai alat komunikasi oleh sekelompok orang tertentu untuk menyampaikan ide, gagasan, pikiran dan perasaan mereka.

Menyitir ungkapan Habermas, bahasa adalah kepentingan. Kepentingan dari siapa yang memakainya yakni mereka yang memiliki kekuasaan juga menguasai bahasa. Keterkaitan bahasa dan wacana politik, bahasa bukanlah medium yang netral, bahasa sebagai representasi dirinya sendiri dari hubungan-hubungan politis dan berperan pula dalam membentuk jenis-jenis subjek, tema-tema wacana, maupun stratei- strategi di dalamnya (Shapiro dalam Mudjiarahardjo; 48.) Bahasa politik diartikan sebagai ucapan atau tulisan yang diproduksi dan digunakan oleh seseorang untuk memperoleh, menggunakan, mempertahankan dan atau mengendalikan kekuasaan.

Istilah wacana diambil dari kata discourse tidak bisa terlepas dari pemikiran Foucault (1972) yang melihat realitas sosial sebagai arena diskursif yang merupakan kompetisi tentang dan pengorganisasian institusi serta proses-proses sosial. Sehingga, bahasa dalam telaah wacana merupakan aspek sentral dari penggambaran suatu subjek, lewat bahasa ideologi terserap di dalamnya karena ideologi membentuk dan dibentuk oleh bahasa (Rakhmad 1996: 50).

Studi Oduori (2002) di Kenya, bahasa dalam wilayah politik digunakan sebagai alat oleh para pemimpin untuk mempertahankan legitimasi kekuasaannya yaitu dengan cara memanipulasi makna. Semisal, melalui wacana perubahan, demokratisasi, pendidikan, kedamaian, multipartai dan sebagainya. Teori ini sukses karena ditunjang oleh kondisi sosial masyarakat Kenya yang mayoritas miskin dan buta huruf.
Di Indonesia, studi bahasa dan wacana politik dilakukan dengan menggunakan perspektif hermeneutika. Seperti yang dilakukan oleh Sam Mukhtar Canisgo (2000) Bahasa dalam Diskursus Kebijakan Publik: SebuahKajian Hermeneutik Historis Terhadap Teks Dokumen Kebijakan Tentang Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK) semassa Rejim Orde Baru, 1974-1982 oleh Soeharto.(Mudjiarahardjo: 43).

KEKUASAAN DAN WACANA POLITIK

Dalam perspektif ilmu politik, kekuasaan diartikan sebagai setiap kemampuan, kapasitas dan hak yang dimiliki seseorang, lembaga atau institusi untuk mengotrol perilaku dan kehidupan orang atau kelompok lain.

Menurut Foucault, kekuasaan tidak hanya milik para pemimpin atau raja-raja, lembaga, negara dan gereja melainkan kekuasaan sama dengan banyaknya relasi kuasa yang bekerja di salah satu tempat atau waktu.

Pokok pikiran Foucault tentang kuasa sebagai berikut. Pertama, kuasa bukanlah milik melainkan fungsi. Sehingga kuasa tidak dimiliki tetapi dipraktikkan dalam suatu lingkup di mana banyak posisi yang secara strategi banyak berkaitan satu sama lain dan senantiasa terjadi pergeseran. Kedua, kuasa tidak dapat dilokalisasi, tetapi terdapat di mana-mana. Dimana ada susunan, aturan-aturan, sistem-sistem regulasi, dimana manusia melakukan hubungan dengan yang lain di dunia, di situ terdapat kuasa sedang bekerja. Ketiga, kuasa tidak selalu bekerja dengan penindasan dan represi, tetapi terutama melalui normalisasi dan regulasi. Kuasa tidak bersifat subjektif. Keempat, kuasa tidak bersifat destruktif, melainkan produktif.

Setiap penguasa pasti berkeinginan untuk mengamankan kekuasaanya. Karena itu, penguasa selalu terus menerus melakukan konsolidasi terhadap sesuatu yang menunjang kekuasaanya, meliputi bidang politik, militer, dan kesadaran publik. (Mudjiarahardjo: 51).

Konsolidasi kekuasaan melalui kesadaran publik yaitu dengan cara menjamah langsung lapisan dasar kultural masyarakat, bersentuhan langsung dengan tradisi. Bahasa merupakan wilayah simbolik yang sangat strategis digunakan untuk menjalankan hegemoni. Dengan bahasa, Gus Dur dengan piawai memainkan perannya sebagai penguasa lewat pondok pesantren dan NU. (Dr. Ahmad Ali Riyadi: Dekonstruksi Tradisi: 41-43)

Kajian wacana dan kekuasaan oleh Fairlough (1989) menemukan dua model beroperasinya kekuasaan lewat wacana: 1. Kekuasaan “dalam” wacana. Ini berkenaan dengan wacana sebagai arena relasi-relasi kekasaan dan diperankan secara aktual. Dan 2. Kekuasaan “di belakang” wacana. Ini menitikberatkan pada bagaimana urutan-urutan wacana sebagai diskursif sosial. Menurut Fairlough, kekuasaan bukan sesuatu yang ilmuiah, tetapi merupakan artifisial dan harus diperjuangkan. Sehingga, kekuasaan dalam wacana berarti wacana adalah arena perjuangan, sedangkan kekuasaan di belakang wacana adalah sesuatu yang harus dipertaruhkan dalam perjuangan politik.
Dalam sejarah politik Indonesia, wacana Soeharto yang didengungkan tentang komunisme berakar kuat di seluruh lapisan masyarakat. Wacana tersebut digunakan untuk mendiskreditkan sejarah orde lama di bawah Soekarno tanpa melihatkan hal-hal positif pada masanya, sekaligus melegitimasi kekuasaannya.

Wacana juga tak terlepas dari unsur pengetahuan (knowledge) dan kekuasaan (power) sebagaimana menurut Foucault. Teknologi kuasa (power) dengan disiplin, yaitu dengan militer (masa Soeharto). Pengetahuan dimanifesto lewat intelektual dalam berwacana.

Kontekstualisasi wacana politik dengan relasi antara bahasa dan kekuasaan sesuai konteksnya menimbulkan bentuk kepemimpinan yang selalu dinamis. Para penguasa melahirkan sejarah melalui wacana politiknya masing-masing. Efek yang ditimbulkannya baik kejayaan maupun keruntuhannya merupakan wujud dari dinamika politik itu sendiri.

Akhirnya, ini merupakan sebuah pembelajaran berpolitik yang baik dan indah karena bermain politik bukanlah dimana hitam dan putih nampak jelas dapat dibedakan.

Diinterpretasikan, disarikan, dinukilkan, ditambah-kurangi dari:- Hermeneutika Gadamerian Kuasa Bahasa Dalam Wacana Politik Gus Dur (Prof. Dr. Mudjiarahardjo, M.Si.)-Dekonstruksi Tradisi Kaum Muda NU Mendobrak Tradisi (Dr. Ahmad Ali Riyadi)
I’am S.
Share this article :


 
Support : imam shopyan | viaviva-ku | i'am shofie
Copyright © 2013. ViaViva-ku - All Rights Reserved
Modified by viaviva-ku.Com
Proudly powered by Blogger